Adat Gredoan di Banyuwangi. Bukan saja di Banyuputih atau Macanputih.
Kok bisa demikian? Ya, karena adat ini di masanya menjangkau hampir di seluruh warga Suku Osing.
Apa buktinya?
Emak saya bercerita sendiri kepada saya.
Di masa remajanya, emak saya adalah penduduk Kota Banyuwangi. Tepatnya Sumbersuko, timur Simpang lima atau yang sering disebut "Perliman".
Kami juga memiliki banyak saudara di luar Kota. Yang jelas adalah di Truko. Sekarang masuk Desa Karangsari, Kecamatan Sempu.
Kembali ke tema yang saya angkat. Harapan saya ini tidak menjadi perdebatan. Emak saya mengalami sendiri apa yang disebut adat "Gredoan".
Gredoan tidak hanya saat acara maulid saja, tetapi pada setiap acara keramaian, seperti prrnikahan, mikrodan kupatan, sunatan.
Lebih rinci emak bercerita, keluarga yg di desa menyambut acara pernikahan. Semua kerabat guyub membantu, mulai urusan dapur hingga koade pengantin. Nah, sementara semua sibuk bekerja, yang perawan dan janda lebih banyak di dapur. Ada maksud khusus ternyata. Apakah itu? Iya. Tepat sekali. Geredoan.
Bagaimana bisa? Ternyata remaja-remaja pria, tetangga saudara yang punya hajatan, berkumpul di luar dapur. Dapur penduduk desa di masa lalu sangat sederhana hanya berdinding bambu yang banyak lubangnya.
Remaja-remaja pria itu beraninya hanya mengintip dari luar dinding. Lalu yang di dalam dapur menegur, dan asyik bercanda tawa dengan sesama perempuan.
Kalau ada yang tertarik ingin berkenalan, pria remaja itu memasukkan sebatang lidi ke dalam dapur melalui dinding. Bila perempuan di dalam tertarik, ya disilahkan mengambil lidi itu. Kebetulan emak saya yang menarik lidi itu, karena memang masih perawan.
Penarikan lidi berarti dipersilahkan berkenalan. Anehnya, pria ini tak boleh masuk dengan ijin dari depan. Tetapi harus langsung masuk ke dapur. Maksudnya untuk menguji keberanian dan tanggung jawabnya.
Setelah sama-sama di dalam. Pria dan emak saya berkenalan. Duduk berduaan tetapi masih di dalam daput yang penuh asap, canda dan tawa penghuninya.
Saat itulah pemilik rumah muncul mengintip siapa yang sedang berduaan. Berkenalan. Kemudian bila saling tertarik, hubungan bisa dilanjutkan ke jenjang pacaran, lamaran, bahkan pernikahan. Tetapi, yang dialami emak tak sampai sejauh itu. Pria itu saat pacaran dengan emak sudah akan menikahi perempuan lain. Emak sendiri pergi jauh ke Bali mencari pengalaman waktu itu.
Pacaran masa lalu tidak seperti sekarang. Mereka hanya titip titip salam melalui saudara kalau kebetulan ketemu. Kalau sekarang, waah.. jangan tanya dech... sudah kelewatan.
Demikianlah apa yang dapat saya jelaskan tentang adat Geredoan. Bila tak berkenan mohon maaf yang sebesarnya.
Terima kasih emak saya yang paling cantik, yang telah bertutur tentang yema ini. Saya sampai bingung mencari nara sumber. Eeee... Ternyata emak sendiri pelaku adat. InsyaAllah..
|