Gelar Pitu Pendahuluan Kebudayaan lahir dari sebuah masyarakat yang memiliki gagasan, perilaku dan hasil karya. Masyarakat yang berkebudayaan membedakan dirinya dari masyarakat lainnya dalam berbagai bentuk sistem religi, kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, maupun teknologinya. Masyarakat Banyuwangi, khususnya Suku Osing, sebagai masyarakat yang berkebudayaan memiliki adat yang tidak sama dengan Suku Jawa pada umumnya, walaupun mereka bagian dari Suku Jawa. Masyarakat Suku Osing tersebar di berbagai wilayah, dan mereka masing-masing memiliki adat yang berbeda-beda. Khususnya pada cara mengungkapkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang mereka peroleh. Adat Kebo-keboan di Alasmalang, Gredoan di Banyuputih, Tumpeng Sewu di Kemiren, Seblang di Olehsari dan Bakungan, Adat Gelar Pitu di Glagah, dan masih banyak lagi adat lainnya. Glagah adalah sebuah desa yang makmur. Sawah ladangnya luas dan subur. Airnya melimpah sepanjang tahun. Pasar, koperasi, dan bank desa berkembang. Perekonomiannya maju. Masyarakatnya tentram dan rukun. Maka pantaslah masyarakatnya memiliki kegiatan adat tertentu sebagai bukti mereka masyarakat yang berbudaya. Gelar Pitu sebagai sebuah adat dari sekelompok kecil warga di Dukuh Kopenkidul, Desa Glagah. Bertujuan menyampaikan tujuh pitutur atau pesan nenek moyang warga di sana agar dilaksanakan oleh generasi berikutnya. Fenomena yang dirasakan dan dilihat langsung oleh warga di pedukuhan kecil itu adalah semua hal yang terkait dengan tradisi Adat Gelar Pitu memiliki hitungan 7 (tujuh). Di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Waktunya adalah pada tanggal 7 Bulan Syawal (tahun Hijriyah) atau 7 hari setelah Bulan Ramadhan usai. 2. Acara tersusun dalam 7 kegiatan. 3. Tempat ritual yang dituju ada 7 tempat. 4. Jumlah tokoh adat di pedukuhan itu ada 7 orang. Ahli bayi, ahli pijat (sangkal putung), ahli obat-obatan, ahli hujan, ahli hisab, ahli nujum, dan ahli pengobatan gaib. 5. Pemain musik gedhogan ada 7 orang ibu-ibu. 6. Gunungan ketupat (Kupat Gunggung) tersusun atas 7 lapisan. 7. Bahkan sampai pada hal yang terkecil seperti paglak (gubuk yang tinggi) terdiri atas 7 meter tingginya, 7 batang usuknya, 7 buah kepang (anyaman daun kelapa untuk atap). 8. Dan masih banyak lagi perihal dengan hitungan 7 yang tidak kami sebutkan lebih terperinci. Tujuh Rangkaian Kegiatan Adat Gelar Pitu yang dilaksanakan warga Dukuh Kopenkidul, Lingkungan Kampungbaru, Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi ini terangkai dalam 7 kegiatan, yaitu: 1. Ngangsu Banyu Panguripan (Mendak Tirta), mengambil air dari sumber mata air. 2. Kirab Kupat Gunggung, berjalan keliling pedukuhan sambil menggotong gunungan ketupat. 3. Ziarah Kubur, mengunjungi pemakaman umum sambil menyampaikan 7 pitutur (pesan) nenek moyang warga. 4. Pemasangan Kain Merah, meletakkan selembar kain merah di atas nisan makam Buyut Saridin, yang dilakukan Kepala Desa sebagai pemimpin wilayah. 5. Penyucian Barong dan Kupat Gunggung, menyiram air sumber yang diambil sebelumnya ke tubuh barong dan gunungan ketupat. 6. Tasyakuran, berdoa di depan musholla sambil makan bersama warga, tokoh masyarakat dan para undangan. 7. Rebutan Kupat Gunggung, memperebutkan ketupat yang berisi sejumlah uang sebagai puncak acara. Kesenian penutup, menyuguhkan pentas kesenian sebagai penutup acara Adat Gelar Pitu. Pernah menanggap wayang kulit. Kadang hanya kuntulan caruk. Pernah mengundang campursari Ganjur dan kawan-kawan. Tahun 1434 H yang lalu mengundang jaranan. Kesenian penutup ini di luar kegiatan adat, karena tergantung dari dana sponsor acara. Bila sponsor sanggup, panitia mengundang kesenian yang diangan-angankan warga. Tujuh Tempat Ritual Ngangsu Banyu Tokoh-tokoh adat mengambil air dari sumber mata air di sungai yang mengairi persawahan warga. Mereka berhenti dan mendoakan keselamatan dan kesejahteraan warga kepada Tuhan Yang Maha Esa di 7 tempat tersebut, yaitu: 1. Bale Wantilan atau Bale Paseban atau Bale Gesah, tempat pertemuan atau pendopo. 2. Bale Pertapan. Tempat mengheningkan cipta (meditasi/semedi/bertapa). 3. Griya Pasinggahan. Tempat ini adalah rumah pertama yang didirikan Buyut Saridin untuk tinggal di wilayah ini. 4. Makam Buyut Putri, kuburan kecil yang diyakini sebagai makam istri Buyut Saridin. 5. Sendang Kamulyan, tempat pemandian Buyut Putri. 6. Sumber Panguripan. Mata air ini kecil, tetapi tak pernah berhenti walau musim kemarau, dan tidak pernah meluap walau musim hujan. 7. Bale Pasantren Agung, adalah pesantren tempat belajar santri-santri Buyut Saridin. Ketujuh tempat itu memiliki aura kegaiban tertentu bila dilihat dengan mata batin tingkat tinggi. Orang biasa dan dengan mata telanjang tak mampu melihat apa yang ada dibalik tujuh tempat tersebut Tujuh Pitutur (pesan) Buyut Saridin Pitutur atau pesan atau nasihat adalah gagasan yang melahirkan Adat Gelar Pitu. Pesan yang disampaikan berbahasa Osing. Namun demikian memiliki makna dan pesan moral yang tinggi agar warga dapat hidup dengan selayaknya sebagai warga yang berkebudayaan. Pesan-pesan tersebut antara lain, adalah sebagai berikut. 1. Mbesuk nawi isun wis sing ono umur, ring papan panggonane jasad isun endonono tengeran kelaras utowo papahe gedhang. Artinya, nanti jika dia sudah meninggal, makamnya diberi tanda daun pisang atau pelepah pisang. Maksudnya: agar generasi berikutnya tidak melupakan leluhurnya yang telah membangun dan berjuang dengan susah payah daerah ini, dengan selalu mendoakan leluhurnya, serta selalu menghormati yang telah mendahului kita. 2. Nawi panen pari ring balad kene ojo lali nggantung utowo masang umbul-umbul hang warnane abang. Artinya, jika panen padi di daerah ini, jangan lupa menggantung atau memasang umbul-umbul berwarna merah. Maksudnya: agar selalu bersyukur kepada Tuhan atas rejeki yang berlimpah ruah. Dan dengan tanda ini, mengajak warga yang lain ikut serta bergotong royong memanen padi. 3. Angger tahun ojo lali lakonono sedekah bumi ono ring latar utowo ring galur. Adat iki ojo sampek ditinggal. Artinya setiap tahun jangan lupa melakukan sedekah bumi atau selamatan di halaman atau jalan desa. Adat ini jangan sampai ditinggalkan. Maksudnya: kebiasaan kenduri untuk berbagi rasa, berbagi kebahagiaan dengan orang lain sangat penting untuk menjalin silaturrahim. Terus menjaga kesetiakawanan sosial dengan makan bersama di halaman rumah maupun jalan-jalan desa. 4. Mlakuwo bareng sak dulur iring-iringono nyang papan panggonane supoyo slamete, wadahono ancak lan areno godhong gedhang. Artinya kurang lebih, berjalanlah bersama-sama (kirab/pawai) dengan seluruh keluarga ke tempat tinggalnya (dukuh Kopen Kidul) agar mendapatkan keselamatan, Seluruh sedekah bumi tadi harus diletakkan dalam wadah dari pelepah pisang (ancak) dan diberi alas daun pisang. Maksudnya: merupakan gaya syiar yang sangat lugas tapi jelas. Masyarakat pasti tertarik menyaksikan pawai berkeliling untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang lebih tinggi dari sekedar jalan-jalan. 5. Sing perlu apik lan akeh. Ngangguwo baen kupat pitu lepet pitu utowo liyane iku yo pitu, paribasane sing biso ngiseni kupat, kupat menta’an baen yo wis keneng, asal kupat mau isine dinar. Serto wis bubar podho rebutono. Lan sopo baen oleh kang kothong, tondho rejekine mengarepe sithik, sebalike kapan ulihe kupat isine akeh dinare tondho mengarepe gangsar rejekine. Artinya, tidak perlu bagus dan banyak. Cukup ketupat tujuh dan lepet (kue dari ketan yang dibungkus daun kelapa muda) atau selain itu juga tujuh. Barangkali tidak bisa mengisi ketupat matang, bisa diisi dengan barang mentah asalkan berisi uang. Setelah selesai acara, diperebutkan. Dan siapa yang dapat ketupat yang isinya kosong, pertanda rezekinya selama setahun ke depan sedikit. Sebaliknya, yang mendapatkan ketupat berisi uang banyak, pertanda selama setahun ke depan rejekinya melimpah ruah. Maksudnya: agar semua bertindak tidak memaksakan diri, penuh kesederhanaan, dan selalu prihatin, namun juga tidak kikir. Suka bersyukur, dan tidak malas diharapkan pula. Selalu meningkatkan etos kerja tanpa mengenal lelah. 6. Tolak sengkolo, balak, belahi hang nglakoni kudu lare wadon, krungkube nganggo pupuse gedhang lan nduwure tanjebono kembang abang, lakonono angger tahun, supoyo balad iki slamet teko penyakit lan tetanen kene supoyo sing diganggu ambi omo, enggonen sak duluran, nawi dienggo pemili sak njabane kene, dino pitu kudu dilakoni kabeh. Pemili kang ono kene miluwo mudhun senajeno beras mung sak njimpit. Artinya, acara tolak ancaman, bahaya, musibah itu harus dilakukan anak perempuan yang menggunakan kerudung (mahkota) dari daun muda pisang dan ditancapi bunga merah. Lakukanlah setiap tahun, agar daerah ini selamat dari penyakit dan supaya pertanian di sini tidak diganggu hama, gunakanlah sesama saudara, jika digunakan famili (saudara) di luar daerah ini, tujuh hari harus dilaksanakan semua. Famili (saudara) yang di sini ikutlah turun tangan atau memberi bantuan walaupun hanya dengan segenggam beras. Maksudnya: agar selalu berdoa kepada Tuhan supaya dijauhkan dari bahaya yang mengancam warga setempat dan lingkungannya. Juga bermaksud agar menghormati para wanita, turut serta dalam setiap acara yang diadakan saudara lain daerah. Saling menolong, kerukunan dan bekerja sama dalam setiap masalah. 7. Mulane kupat pitu lepet pitu minongko kanggo ngengeti: Siji, siro kabeh sak durunge lair naliko mageh ring njero weteng, meteng petung ulan siro dislameti tingkeban. Loro, siro urip ningkrik bumi, bumi iku yo lapis pitu. Telu, siro urip dipayungi langit, langit yo lapis pitu. Papat, siro urip yo ngombe banyu, banyu iku yo pitu, siji banyu sumber, loro banyu udan, telu banyu segoro, papat banyu sawah utowo kedhokan, limo banyu mbun, nem banyu gunung utowo kawah, lan pitu banyu sumur, limo siro nggawe umah, arane umah yo ono pitu, siji soko, loro jahit, telu lambang, papat panglari, limo blandar, nem suwunan, pitu rab. Enem dino yo ono pitu, siji Ahad, loro Senen, telu Seloso, papat Rebo, limo Kemis, enem Jemuwah, pitu Sebtu. Pitu Siro mbesuk mati, yo dislameti. Akehe slametane, pitu. Siji nggeblak, loro telung dinone, telu petung dinone, papat petang poloh dino, limo satus dinone, enem setahune, pitu sewu dinone. Artinya, oleh karena itu ketupat lepet tujuh itu sendiri untuk mengingatkan: Satu, kita semua sebelum lahir saat masih di dalam kandungan, hamil tujuh bulan kita didoakan dengan selamatan tingkeban. Dua, kita hidup di atas bumi. Bumi memiliki tujuh lapis. Tiga, kita dipayungi langit. Langit juga memiliki tujuh lapis. Empat, kita minum air. Air ada tujuh jenis, air sungai, air hujan, air laut, air sawah/kebun, air embun, air gunung/kawah, dan air sumur. Lima, kita membuat rumah dengan tujuh jenis rangka bangunan. Yaitu, satu saka, dua jahit, tiga lambang, empat panglari, lima blandar, enam suwunan, tujuh rab. Enam, jumlah hari juga ada tujuh. Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Tujuh, dan kalau kita sudah mati biasa diperingati dan didoakan sampai tujuh macam peringatan, satu hari, tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, setahun dan seribu harinya. Kilas Balik Sejarah munculnya Adat Gelar Pitu, adalah sebelumnya terjadi pertentangan antara tokoh-tokoh adat yang masih satu kerabat ini. Mereka melakukan acaranya sendiri-sendiri tanpa peduli acara lain yang bersamaan. Kemudian beberapa warga sepuh berkumpul dan berembug menengahi masalah. Hingga muncullah nama Adat Gelar Pitu yang dilaksanakan tiap tahun di pedukuhan itu. Konon, kupat gunggung tidak membentuk gunungan seperti sekarang, tetapi ditempatkan dalam “welasah” (wadah dari anyaman bambu berbentuk setengah bola) berukuran besar sebanyak tujuh buah. Penutup Gagasan, perilaku dan hasil karya telah tertuang dalam adat Gelar Pitu. Hingga sekarang tetap dijaga dan dilestarikan segelintir warga osing di Dukuh Kopenkidul, Desa Glagah. Sebagai masyarakat yang berkebudayaan, adat yang menjadi ciri khasnya sebagai masyarakat yang berbeda dari masyarakat lain hendaklah menjaga dan melestarikan adatnya. Selagi adat itu tidak menyimpang dari aturan hukum perundang-undangan yang berlaku. Demikianlah sedikit tulisan tentang Gelar Pitu. Kritik dan saran sangat diharapkan agar penulisan selanjutnya lebih baik lagi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)