twitter
rss

Gelar Pitu

Gelar Pitu?
Apakah tradisi Gelar Pitu ini?
Di mana dan kapan dilaksanakannya?
Setiap Idul Fitri hari ketujuh atau 7 Syawal tahun Hijriyah, warga Dukuh Kopen Kidul, Dusun Kampung Baru, Desa Glagah, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, memperingati Lebaran Ketupat dengan mengadakan acara Gelar Pitu.
Dalam tradisi ini, warga dan sesepuh adat setempat menggelar ritual penyucian Barong dan Omprok (Mahkota) Seblang serta Kupat Gunggung (gunungan ketupat) yang diarak dan didoakan di makam leluhur, Mbah Saridin. Kegiatan ini bertujuan untuk menolak bala, musibah, bahaya dan bencana sebagai wujud syukur atas keamanan dan rejeki dari Yang Maha Agung. Tradisi masyarakat setempat ini disebut Gelar Pitu.
Gelar Pitu diartikan sebagai ajang untuk menggelar atau melaksanakan tujuh pesan atau nasihat dari leluhur setempat, Buyut Saridin. Mbah Buyut Saridin dianggap sebagai leluhur setempat yang sudah membabat dan membangun perkampungan yang dulunya masih berupa hutan.
Menurut cerita sesepuh desa, Saridin mengamanatkan tujuh pesan kepada kedua cucunya yang bernama Sudanti dan Senitri.
Tujuh pesan dari Buyut Saridin itu di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mbesuk nawi isun wis sing ono umur, ring papan panggonane jasad isun endonono tengeran kelaras utowo papahe gedhang. Artinya, nanti jika dia sudah meninggal, makamnya diberi tanda daun pisang atau pelepah pisang.
2. Nawi panen pari ring balad kene ojo lali nggantung utowo masang umbul-umbul hang warnane abang. Artinya, jika panen padi di daerah ini, jangan lupa menggantung atau memasang umbul-umbul berwarna merah.
3. Angger tahun ojo lali lakonono sedekah bumi ono ring latar utowo ring galur. Adat iki ojo sampek ditinggal. Artinya setiap tahun jangan lupa melakukan sedekah bumi atau selamatan di halaman atau jalan desa. Adat ini jangan sampai ditinggalkan.
4. Mlakuwo bareng sak dulur iring-iringono nyang papan panggonane supoyo slamete, wadahono ancak lan areno godhong gedhang. Artinya kurang lebih, berjalanlah bersama-sama (kirab/pawai) dengan seluruh keluarga ke tempat tinggalnya (dukuh Kopen Kidul) agar mendapatkan keselamatan, Seluruh sedekah bumi tadi harus diletakkan dalam wadah dari pelepah pisang (ancak) dan diberi alas daun pisang.
5. Sing perlu apik lan akeh. Ngangguwo baen kupat pitu lepet pitu utowo liyane iku yo pitu, paribasane sing biso ngiseni kupat, kupat menta’an baen yo wis keneng, asal kupat mau isine dinar. Serto wis bubar podho rebutono. Lan sopo baen oleh kang kothong, tondho rejekine mengarepe sithik, sebalike kapan ulihe kupat isine akeh dinare tondho mengarepe gangsar rejekine. Artinya, tidak perlu bagus dan banyak. Cukup ketupat tujuh dan lepet (kue dari ketan yang dibungkus daun kelapa muda) atau selain itu juga tujuh. Barangkali tidak bisa mengisi ketupat matang, bisa diisi dengan barang mentah asalkan berisi uang. Setelah selesai acara, diperebutkan. Dan siapa yang dapat ketupat yang isinya kosong, pertanda rezekinya selama setahun ke depan sedikit. Sebaliknya, yang mendapatkan ketupat berisi uang banyak, pertanda selama setahun ke depan rejekinya melimpah ruah.
6. Tolak sengkolo, balak, belahi hang nglakoni kudu lare wadon, krungkube nganggo pupuse gedhang lan nduwure tanjebono kembang abang, lakonono angger tahun, supoyo balad iki slamet teko penyakit lan tetanen kene supoyo sing diganggu ambi omo, enggonen sak duluran, nawi dienggo pemili sak njabane kene, dino pitu kudu dilakoni kabeh. Pemili kang ono kene miluwo turun senajeno beras mung sak njimpit. Artinya, acara tolak ancaman, bahaya, musibah itu harus dilakukan anak perempuan yang menggunakan kerudung (mahkota) dari daun muda pisang dan ditancapi bunga merah. Lakukanlah setiap tahun, agar daerah ini selamat dari penyakit dan supaya pertanian di sini tidak diganggu hama, gunakanlah sesama saudara, jika digunakan famili (saudara) di luar daerah ini, hari ke tujuh harus dilaksanakan semua. Famili (saudara) yang di sini ikutlah turun tangan atau memberi bantuan walaupun hanya dengan segenggam beras.
7. Mulane kupat pitu lepet pitu menongko kanggo ngengeti: Siji, siro kabeh sak durunge lair naliko mageh ring njero weteng, meteng petung ulan siro dislameti tingkeban. Loro, siro urip ningkrik bumi, bumi iku yo lapis pitu. Telu, siro urip dipayungi langit, langit yo lapis pitu. Papat, siro urip yo ngombe banyu, banyu iku yo pitu, siji banyu sumber, loro banyu udan, telu banyu segoro, papat banyu sawah utowo kedhokan, limo banyu mbun, nem banyu gunung utowo kawah, lan pitu banyu sumur, limo siro nggawe umah, arane umah yo ono pitu, siji soko, loro jait, telu lambang, papat panglari, limo belandar, nem suwunan, pitu rab, dino yo ono pitu. Artinya, oleh karena itu ketupat lepet tujuh itu sendiri untuk mengingatkan: Satu, kita semua sebelum lahir saat masih di dalam kandungan, hamil tujuh bulan kita didoakan dengan selamatan tingkeban. Dua, kita hidup di atas bumi. Bumi memiliki tujuh lapis. Tiga, kita dipayungi langit. Langit juga memiliki tujuh lapis. Empat, kita minum air. Air ada tujuh jenis, air sungai, air hujan, air laut, air sawah/kebun, air embun, air gunung/kawah, dan air sumur. Lima, kita membuat rumah dengan tujuh jenis rangka bangunan; jumlah hari juga ada tujuh; dan kalau kita sudah mati biasa diperingati dan didoakan sampai tujuh hari.
Semua pesan tersebut berbahasa Osing yang hingga kini, tujuh pesan leluhur itu tetap dilestarikan generasi sekarang dan sampai kapan pun.

1. Mendak Tirto
Sebelum gunungan ketupat diperebutkan, ada beberapa prosesi ritual. Pertama pada pagi hari, seorang perempuan lanjut usia mengambil air dari sumber air yang pertama kali ditemukan leluhur diiringi tujuh orang wakil warga setempat yang konon tidak diperkenankan berpakaian warna merah. Kemudian air ini ditempatkan dalam dua buah kendi. Air dalam kendi ini nanti akan digunakan untuk menyucikan Barong dan Omprok Seblang di makam Mbah Buyut Saridin.
Ritualnya dilaksanakan di tujuh tempat berbeda di sekitar wilayah Dukuh Kopenkidul. Di antaranya yaitu:
1. Bale Wantilan, bentuknya sekarang berupa rumah sebagai tempat pertemuan atau pendopo. Namun sekarang tempat ini digunakan untuk sabung ayam saat ritual panen padi di Dukuh Kopenkidul.
2. Sanggar Masigit Sapto Argo.
Bentuknya sekarang berupa dua buah batu, yang dipakai sebagai tempat mengheningkan cipta (meditasi/semedi/bertapa) oleh Syekh Jangkung atau Buyut Saridin,
Masyarakat meyakini bahwa di tempat ini tidak diperkenankan memakai baju berwarna merah. Karena yang bersangkutan akan mengalami musibah.
3. Makam Eyang Putri Retno Jinoli. Bentuknya adalah makam kecil di tengah hutan yang disebut Hutan Cempoko Putih.
4. Griya …. Sekarang dipakai salah satu warga di Dukuh ini sebagai kandang sapi. Entah siapa yang memulai, hingga sekarang seperti itu keadaannya. Diyakini tempat ini adalah rumah pertama yang didirikan Syekh Jangkung untuk tinggal di wilayah ini.
5. Taman Sari, bentuknya sekarang berupa sawah. Diperkirakan dulunya merupakan tempat pemandian Eyang Putri Retno Jinoli.
6. Sumber Penguripan, bentuknya berupa pancuran mata air kecil, tidak pernah kering waktu musim kemarau, tidak pernah meluap walaupun musim penghujan.
7. Bale Paseban, bentuknya sekarang berupa batu. Diperkirakan dulunya adalah pesantren tempat belajar santri-santri Syekh Jangkung.

2. Kirab Kupat Gunggung
Setelah sholat Ashar berjamaah, kupat gunggung bersama Barong dan Omprok Seblang diarak keliling pedukuhan. Kupat Gunggung sendiri diusung oleh tujuh orang yang masih kerabat dekat Buyut Saridin.
Melalui jalan-jalan pedukuhan dan gang-gang kecil, dengan diiringi kesenian barong, hadrah dan para penduduk di belakang kupat gunggung. Iring-iringan ini menuju makam Buyut Saridin (Syeh Jangkung) yang merupakan leluhur penduduk Dukuh Kopenkidul.

Kupat Gunggung sebelum dikirab

3. Ziarah Makam
Sesampainya iring-iringan kirab kupat gunggung di area makam, tokoh-tokoh masyarakat seperti Pemangku Adat, Ulama, Ketua RT, Kepala Dusun, dan Kepala Desa setempat memanjatkan doa agar dosa para pendahulu mereka diampuni Yang Maha Kuasa. Lalu sejumlah tujuh macam kembang (bunga) ditaburkan di atas makam Buyut Saridin.

Makam Buyut Saridin
Sejarah Buyut Saridin sangat berkaitan dengan keberadaan kesenian Barong di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah dan ritual Tari Seblang di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah. Dukuh Kopen Kidul, Dusun Kampung Baru, Desa/Kecamatan Glagah memang berada di tengah-tengah antara Kemiren dan Olehsari.
“Dulu yang menciptakan Barong dan Seblang itu adalah Buyut Saridin yang diwariskan pada kedua cucunya untuk dilestarikan, kedua cucunya masing-masing menikah dengan warga Kemiren dan Olehsari” tutur Bapak Sanusi. Menurutnya, Ulong kecil (salah satu cicit Buyut Saridin) yang pertama kali memainkan Barong mengelilingi tanah pertanian, kemudian setelah dewasa berkeluarga dan hidup di Desa Kemiren, masih memainkan Barong di jalan-jalan Desa Kemiren hingga berkeliling. Merupakan awal terbudayanya tradisi Ider Bumi di Desa Kemiren, setiap tanggal 2 Syawal,
Sedangkan Walik (juga salah satu cicit Buyut Saridin) melestarikan budaya Seblang di Desa Olehsari, selama 7 hari di Bulan Syawal. Yang sebelumnya, dijelaskan Pemangku Adat, Desa Olehsari yang baru berdiri memerlukan ritual tolak sengkolo seperti dituturkan pesan keenam. Yang kini setiap tahunnya Seblang masih lestari mengiringi ritual Bersih Desa di Desa Kemiren.

Omprok Seblang sebelum dikirab
Seblang singkatan dari tolak sengkolo, blahi, bala ilango, sedangkan barong singkatan dari barang alus rohe ojo nyusup gawene.

4. Peletakan kain Merah Putih
Warga Dukuh Kopenkidul sangat menghormati bendera merah putih, karena pesan nenek moyang sangat dilestarikan sedemikian hingga saat acara ritual Gelar Pitu, selembar Bendera Merah Putih diserahkan dari Pemangku Adat kepada Kepala Desa.
Kepala Desa setelah menerima Bendera Merah Putih dari Pemangku Adat disaksikan para peziarah, segera meletakkan Bendera Merah Putih itu di atas nisan Makam Buyut Saridin dengan iringan doa sholawat nabi. Sebagai pertanda bakti atas pitutur pertama, yakni meletakkan kain warna merah di atas makam Buyut Saridin.

Kain Merah yang disimpan di rumah Pemangku Adat
5. Penyucian
Berikutnya omprok seblang disucikan dengan air kendi yang didapatkan saat mendak tirto. Barong juga disucikan seperti orang berwudlu, mulai membasuh wajah barong, hingga kakinya. Dengan diiringi musik, kupat gunggung dikelilingi Barong menari sambil disucikan dengan menyembur-nyemburkan air yang didapatkan saat mendak tirto.
Air yang ditempatkan pada kendi itu harus digunakan untuk ritual penyucian sampai habis. Tidak boleh ada sisanya. Karena akan berpengaruh pada saat rebutan kupat gunggung.

6. Tasyakuran
Ritual belum selesai sampai di sini, karena warga segera menggelar tahlilan dan doa bersama di jalan desa, di depan mushalla. Tahlil dan doa bersama bertujuan agar Yang Maha Kuasa menerima ungkapan rasa syukur penduduk Dukuh Kopenkidul. Dan berharap agar bencana, bahaya, dan musibah tidak menimpa dukuh mereka.
Acara tasyakuran ditutup dengan makan bersama dan penyerahan omprok seblang kepada wakil warga Olehsari untuk digunakan di Desa Olehsari sesuai Pitutur keenam. Makanan saat tasyakuran ini berupa ketupat dan lepet yang disajikan bersama kare ayam. Makanan diletakkan pada ancak dan diberi wadah berupa daun pisang yang berbentuk menyerupai mangkuk.

7. Rebutan Kupat Gunggung
Demikianlah seluruh rangkaian acara Gelar Pitu yang ditutup dengan berebut ketupat yang digantung pada kupat gunggung. Acara ini diakui sangat unik. Kupat gunggung atau gunungan ketupat yang berisi uang akan dapat meramalkan rejeki warga di tahun depan.
Bapak Sanusi Mahaerdi (biasa dipanggil Pak Usik), Pemangku Adat setempat, menjelaskan, pihak panitia sebenarnya sudah mengisi semua ketupat yang dikumpulkan warga dengan uang pecahan minimal Rp 500,- dan maksimal Rp 5.000,- di dalam setiap ketupat. Jumlah ketupat yang diisi mencapai 1.050 buah sesuai dengan jumlah penduduk di wilayah setempat. Anehnya, setelah diperebutkan, warga malah menemukan ketupat yang kosong atau uang yang sudah diisi malah hilang.
Sebaliknya nominal uang didalam ketupat dipercaya bisa berubah. “Padahal panitia hanya mengisi uang pecahan Rp 1.000,- atau Rp 5.000,- di setiap ketupat. Namun nyatanya, warga malah mendapatkan uang yang lebih seperti Rp 1.000,- dan bahkan Rp 25.000,-. Ini sering terjadi tiap tahun,” jelasnya.Rebutan ketupat dimulai dengan melantunkan sholawat nabi.
Seluruh warga yang hadir boleh mengambil ketupat tidak terkecuali Pemangku Adat. Mereka yakin bahwa kepercayaan terhadap pesan ketujuh Buyut Saridin akan terbukti pada kehidupan mereka di tahun depan. Harapan Pemangku Adat, acara ini tidak menimbulkan rasa syirik, bahkan diharapkan menimbulkan semangat untuk bekerja lebih giat lagi di masa yang akan datang.
Tokoh adat setempat lebih lanjut menjelaskan siapa yang mendapatkan ketupat yang kosong isinya, pertanda rezekinya selama setahun ke depan sedikit, maka berhati-hatilah dalam bekerja atau bekerja lebih giat. Sebaliknya, yang mendapatkan ketupat berisi uang banyak, pertanda selama setahun ke depan rejekinya melimpah ruah, maka jangan lupa bersedekah kepada yang kekurangan.

Warisan Leluhur
Bapak Sanusi menuturkan juga kata ‘Seblang’ merupakan singkatan dari ungkapan atau harapan. “Seblang itu singkatan dari sengkolo, belai, bala supoyo ilang (bahaya, musibah, bencana supaya hilang), sedangkan kata ‘Barong’ merupakan singkatan dari “barang alus rohe ojo nyusup gawene” (roh-roh halus bangsa jin setan jangan mencampuri urusan pekerjaan penduduk (petani), jelasnya.
Semua ritual/tradisi/budaya Gelar Pitu bertujuan menolak bencana dan sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang melimpah dari Yang Maha Agung. Mari kita lestarikan karena merupakan warisan leluhur negeri ini untuk mewujudkan jati diri bangsa..
Buyut Saridin juga memberikan warisan alat musik khas kesenian Barong dan Seblang, di antaranya adalah:
 Kluncing, yaitu alat muzik berbentuk segi tiga yang diperbuat daripada kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul yang diperbuat daripada bahan yang sama.
 Kendhang yang hampir serupa dengan kendhang yang digunakan dalam gamelan Sunda dan Bali. Biasanya berjumlah satu atau dua, fungsi kendhang ialah sebagai pemimpin musik.
 Kethuk yang diperbuat daripada besi berjumlah dua buah dan dibuat dengan berbagai ukuran, sesuai dengan larasannya. “Kethuk estri” (feminin) adalah yang besar, dan dalam gamelan Jawa dipanggil Slendro, sedangkan “kethuk jaler” (maskulin) dilaraskan lebih tinggi satu not. Fungsi kethuk di sini bukan sekadar sebagai alat penguat atau penjaga irama seperti dalam gamelan Jawa, tetapi ia juga bergabung dengan kluncing untuk mengikut irama kendhang.
 Gong dalam gamelan Banyuwangi (khususnya Gandrung) hanya terdiri daripada sebuah alat gong besi yang terkadang diselingi dengan “saron bali” dan angklung.

Selesai